Friday, December 16, 2016

Menikah itu BUKAN untuk semua orang!

Oleh: Muhammad Sadam (tulisan ini pertama kali saya terbitkan dalam laman Qureta)
Menikah adalah sebuah pilihan, BUKAN kewajiban—saya ingin memulai tulisan ini dengan sentimen tersebut. Akan tetapi jangan sampai judul tulisan ini dijadikan dalih bagi para konservatif untuk menentang pernikahan bagi kelompok orang-orang tertentu.
Sebaliknya, tulisan ini justru harusnya bisa menunjukan bahwa pernikahan adalah hak paling personal yang merupakan perwujudan dari kata “pilihan” itu sendiri. Selain itu, saya sendiri adalah bagian dari komunitas progressive yang mendukung penuh hak-hak pribadi setiap orang—semua orang—yang ingin menikah, atau dalam hal ini, tidak ingin menikah.
Tulisan ini juga tidak saya maksudkan untuk menjadi ajang perdebatan kusir mengenai boleh atau tidaknya, dua orang pasangan tinggal dalam satu rumah dan membangun keluarga mereka tanpa ikatan pernikahan. Seperti yang saya tulis sebelumnya (silahkan baca disini), tidak ada gunanya anda membawa-bawa agama, moral, dan segala elemen personal dan subjektif lainnya yang saya sebut sebagai, omong kosong, untuk memperdebatkan ini.
Anyway, dua tahun lalu, untuk pertama kalinya setelah hampir tujuh tahun tinggal di Jakarta, saya kembali merayakan lebaran bersama keluarga di Sulawesi. Saya tidak begitu kaget dengan segala perubahan fisik yang terjadi pada tanah kelahiran saya. Mulai dari jumlah mall yang tadinya hanya ada satu, kini sudah bertambah—well—satu lagi, atau airport-nya yang telah dipoles lebih modern. Yang justru membuat saya sungguh benar-benar terkejut, adalah kabar-kabar mengenai teman-teman masa kecil dan tetangga-tetangga saya dulu di sekitar rumah.
Bagaimana tidak, setiap kali bertemu kenalan lama di jalan, saya melontarkan pertanyaan basa-basi seperti, “Bagaimana kabar Si Anu sekarang?”. Dan setiap kali itu pula saya selalu mendapat respon yang sama, “Si Anu sudah menikah bulan lalu. Si Dia baru saja melahirkan anak ketiganya. Yang itu malah barusan cerai dan sudah akan menikah lagi bulan depan—untuk ketiga kalinya.”
Tidak sampai disitu, jawaban-jawaban itu dilanjutkan dengan pertanyaan, “Kamu kapan mo kawin-nya, Dam?” Mulai dari keluarga sedarah, tetangga rumah, hingga tukang ojek yang sering mengantar saya semasa bersekolah—semuanya melemparkan pertanyaan yang sama, dengan nada sarkastis dibalut dengan gurauan yang garing.
Saya dalam hati menjawab, “Kalau kawin sih dari jaman teman-teman saya sibuk ngerjain tugas kampus dulu, saya malah udah bosan kawin dengan banyak orang di luaran sana.” Namun saya tentu hanya bisa tersenyum dan menjawab dengan alasan paling klise yang sudah sering kita dengar, “Saya belum siap untuk menikah sekarang.”
Well, tentu sah-sah saja menjawab dengan jawaban klise itu. Dan mungkin saja memang benar keadaannya bagi sebagian orang, bahwa mereka memang belum siap untuk menikah. Namun bagi saya pribadi, dan mungkin juga beberapa dari kalian, saya hanya tidak percaya dengan sebuah institusi idaman para orang tua kita yang disebut, pernikahan. Simply, saya memang hanya tidak ingin menikah. PERIOD!
Saya pernah mengatakan itu kepada beberapa rekan saya, dan respon yang saya terima terdengar sangat tradisional dan merefleksikan keterbatasan kita dalam berpikir. "Kamu pengen tinggal sendiri?” atau respon seperti, “Kamu emang nggak mau punya anak, Dam?”—sudah menjadi sangat akrab di telinga saya. Seolah pernikahan adalah satu-satunya yang terpikirkan ketika kita menghindari “kesendirian”.
Setuju atau tidak, lahir dan tumbuh di lingkungan “tradisional” seperti Indonesia, tidak memberikan banyak pilihan individual kepada kita semua. Sejak lahir hingga meninggal dunia, segalanya seolah telah diatur. Jika bukan oleh keluarga kita, maka ketika dewasa oleh lingkungan, dan itulah yang membuat kebebasan berpikir kita menjadi—jika tidak terbatas—maka tidak ada sama sekali. Ironisnya, Undang-Undang sendiri menjamin kebebasan itu.
Kembali ke soal pernikahan, silahkan mendefinisikan arti atau tujuan pernikahan menurut kehendak anda masing-masing. Akan tetapi kita bisa secara universal bersepakat, bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya cara untuk membangun hubungan dengan orang lain. Saya yakin tidak ada peraturan (dari hukum positif kita, bukan hukum adat) yang melarang dua orang pasangan tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan.
Renungkanlah iniDua individu—dewasa secara biologis dan secara hukum (di atas usia 18 tahun)—sama-sama saling suka, saling mencintai, dan ingin menjalin hubungan serta membangun keluarga kecil mereka, apakah keputusan itu harus ditentukan oleh sekelompok orang lain yang membawa argumen adat warisan leluhur?
Apakah keputusan itu harus ditentukan oleh Negara atau pembuat hukum di Senayan yang bahkan tidak pernah bertemu kedua orang dewasa tersebut? Apakah itu harus diputuskan oleh kedua orangtua mereka? Keluarga dan kerabat mereka? Atau para polisi moral dan penghafal kitab suci yang “pamer” kealiman di televisi?
ATAU, cukupkah keputusan yang SANGAT personal itu, diputuskan oleh—DAN HANYA OLEH—kedua orang dewasa yang terlibat itu saja? Tentu saja jawaban yang paling logis dan objektif sangatlah jelas untuk pertanyaan tersebut.
Mungkin tanpa disadari oleh kebanyakan kita terutama dari kalangan millenials, pernikahan seperti telah menjadi satu-satunya target hidup dan tujuan mulia dari “sebuah hubungan”. Membuat kita banyak menghindari acara-acara keluarga karena tidak ingin terjepit dengan pertanyaan-pertanyaan, “Kapan married?” atau “Kapan mo punya anak?”
Atau bagi para ABG—Anak Baru Gaul—yang begitu “sucinya” sehingga mereka bisa terlalu sibuk menghujat Agnez Mo di twitter hanya karena ia “menghabiskan waktu” dengan pacarnya di LA. Atau idiot haters yang menjadikan “salah satu mozaik perjalanan cinta” Mbak Anggun sebagai aib yang katanya sangat memalukan. (Memalukan? Well, say THAT to Adele and her career!)
See, apakah setiap orang HARUS menikah untuk memenuhi hak-hak pribadinya? Idealnya tentu saja tidak harus. Tapi kenyataannya, banyak sekali peraturan yang berlaku, yang membuat hak-hak pribadi setiap orang (di Indonesia) HANYA akan bisa terpenuhi melalui status pernikahan. Inilah yang terjadi ketika hukum sebagai produk politik, didasarkan pada nilai-nilai subjektif agama, moral, atau tradisi nenek moyang.
Perbedaan pendapat mengenai ini, atau hujatan dan cibiran kepada para “Andi Soraya dan Steve Emmanuel” di luaran sana—akan terus muncul ketika elemen-elemen subjektif yang bersumber dari doktrin agama, moral-based thinking (bukannya common courtesy), norma-norma tradisional, dan semacamnya—bercampur dalam ranah hukum (yang harus objektif) dan dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masyarakat.
Saya bukannya anti pernikahan—HELL NO. Bahkan terkadang ada momen-momen ketika saya larut dan tenggelam dalam dunia komedi romantis yang saya tonton, yang seperti membuat saya ingin menikah dan mempunyai anak saat itu juga. Saya sama sekali tidak anti pernikahan—saya hanya anti pemaksaan, saya anti moral superiority, saya anti dogma, dan saya anti penjajahan pemikiran.
Mereka yang mengira pernikahan adalah satu-satunya jalan untuk menjalin hubungan, atau membentuk keluarga—masih terjajah pemikirannya. Mereka yang merasa lebih bermoral, lalu mencibir, menghujat, dua orang dewasa yang berpacaran dan tinggal serumah atau “bertingkah” layaknya pasangan yang menikah—sungguh masih terjajah pemikirannya.
Bebaskanlah pikiranmu dan jadilah individu yang benar-benar merdeka, yang bisa menilai sesuatu dari pemikiran objektifmu sendiri. Bukan karena “surat ini dan ayat itu” mengatakan demikian. Bukan karena keluargamu menghendakinya. Bukan pula karena mengikuti arus modernisasi. Tapi karena kamu bisa secara objektif melihat sebuah kenyataan logis, bahwa setiap orang berhak untuk menikah, tapi tidak semua orang ingin menikah.

No comments:

Post a Comment