Monday, October 31, 2016

Satu Langkah Nyata Menuju Indonesia Cerdas

Menilai secara objektif potret "Kerja Nyata" dua tahun pertama Kabinet Kerja di bidang pendidikan.
oleh: Muhammad Sadam


Image result for foto jokowi bersama anak sekolah

Salah satu tujuan Negara Indonesia adalah, "untuk mencerdaskan kehidupan bangsa" seperti yang tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-4. Kemudian Pasal 31 UUD 1945 sendiri mengatakan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya. Selain itu, butir 4, 5, dan 7 dari dokumen Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 (KPU, 2014)adalah mengenai upaya pengembangan manusia Indonesia yang bisa dicapai melalui pendidikan.

Karena itulah pendidikan menjadi fokus utama yang akan saya paparkan dalam tulisan ini, mengingat peranannya yang memang sangat fundamental dalam mewujudkan kemajuan pembangunan suatu bangsa. Dan saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah sentimen positif, yaitu meskipun saat ini masih banyak permasalahan dan tantangan dalam dunia pendidikan di Indonesia, perkembangan nyata yang dicapai dalam dua tahun pertama pemerintahan Kabinet Kerja, patut mendapatkan apresiasi dari semua pihak.

Secara umum hal itu bisa terlihat pada peningkatan Indeks Pendidikan sebesar 0,82 poin menjadi 61 pada tahun 2015. Peningkatan itu berkontribusi dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia sebesar 0,75 poin menjadi 69,55. Peningkatan IPM tersebut dipicu oleh peningkatan rata-rata lama bersekolah (years of schooling) penduduk usia 25 tahun keatas, dari 7,73 tahun menjadi 7,83 tahun; serta peningkatan angka harapan lama bersekolah (expected years of schooling), dari 12,39 tahun menjadi 12,55 tahun (Tempo, 2016).



Tidak hanya itu, bahkan berdasarkan data laporan UNESCO dalam Education For All Global Monitoring Report (EFA-GMR) sampai tahun 2014, Indonesia berada pada peringkat ke-57 dari 115 negara dalam EDI (Education Development Index) atau Indeks Pembangunan Pendidikan (KemenkoPMK, 2014). Tentu saja angka itu masih jauh dari mengagumkan memang. Akan tetapi jika dibandingkan tiga tahun sebelumnya dimana Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara dalam EDI (Kompas, 2011), maka peningkatan yang dicapai selama dua tahun pertama Kabinet Kerja Jokowi-JK, sangatlah signifikan.

Untuk memahami hal tersebut, kita perlu mengingat bahwa begitu banyak tantangan dan permasalahan pendidikan yang dihadapi di masa awal pemerintahan Kabinet Kerja. Dan untuk bisa menilainya secara lebih objektif, marilah kita mengintip lebih spesifik apa saja yang telah dilakukan sejauh ini oleh Jokowi-JK dan kabinetnya.

Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Pemerintahan SBY-Boediono sebelumnya telah menyatakan bahwa program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun telah tercapai pada tahun 2011 dengan pencapaian Angka Pertisipasi Kasar (APK) 99,47% (JPNN, 2013). Akan tetapi masih ada ratusan kabupaten/kota yang tersebar di beberapa provinsi yang pencapaian APK-nya masih dibawah 95%, seperti di Papua yang pencapaian APK-nya hanya 43,6%, Papua Barat 59,65%, dan Kalimantan Barat 59,51% (Tempo, 2014).

Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal, mulai dari masih terbatasnya akses pendidikan di beberapa daerah di Indonesia, infrastruktur pendidikan yang masih kurang memadai, dan ketersediaan guru yang terbatas. Bahkan ketika di beberapa daerah pendidikan dasar sudah digratiskan oleh pemerintah setempat, di beberapa daerah lain para siswa masih diharuskan membayar dengan biaya yang masih tergolong mahal.



Apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK untuk menjawab masalah dan tantangan tersebut sudah cukup realistis dan tepat sasaran. Selama dua tahun pertama Kabinet Kerja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibawah pimpinan Anies Baswedan, telah memfokuskan kepada peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan subsidi pendidikan.

Anggaran pendidikan lebih dari Rp.53 Triliun (LAKIP Kemendikbud 2015) mungkin tidak akan menjawab semua permasalahan yang ada saat ini. Namun paling tidak itu bisa menjawab beberapa hal yang saya sebutkan di atas tadi. Dan strategi itu direalisasikan misalnya melalui pembangunan lebih dari 700 unit sekolah baru, rehabilitasi lebih dari 11.000 ruang kelas dan fasilitas belajar mengajar, pembangunan lebih dari 14.000 ruang kelas baru, dan pendistribusian hampir 18 juta Kartu Indonesia Pintar dan program beasiswa untuk membantu biaya pendidikan masyarakat.


Seperti yang saya sebutkan di awal, hasilnya sangatlah signifikan. Secara agregat nasional (target 97,65% berdasarkan LAKIP Kemendikbud 2015), Angka Partisipasi Kasar untuk Sekolah Dasar (SD dan sederajat) di tahun 2015 melebihi 110% (APK bisa lebih dari 100% karena adanya penduduk yang terlalu cepat atau terlalu lambat bersekolah). Bahkan pencapaian APK-SD di setiap provinsi kini telah melewati standar pemerintahan sebelumnya. Papua adalah satu-satunya provinsi yangmeskipun kini telah melebihi 95% APKmasih belum mencapai target APK nasional tahun 2015.

Data di atas tentu saja tidak secara menyeluruh menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia. Namun besaran APK tersebut bisa menjadi barometer objektif yang menunjukan bahwa akses terhadap pendidikan di Indonesia, telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan selama dua tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK ini.



Kuantitas dan Kualitas Guru
Tantangan lain yang dihadapi di masa-masa awal pemerintahan Jokowi-JK adalah masih terbatasnya jumlah guru yang berkualitas di berbagai daerah, terutama daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). Kebutuhan guru dengan kualitas yang baik yang memenuhi standar kualitas tenaga pengajar abad 21, tentu menjadi sangat penting terutama di era digital dimana pendidikan dasar sendiri menjadi sangat krusial untuk mempersiapkan anak didik bersaing di kancah global.

Beberapa daerah tertingal di Jawa Tengah (Solopos, 2014) ataupun daerah-daerah pedalaman dan perbatasan di Papua (TRIBUNnews, 2015) memiliki komposisi jumlah siswa dan tenaga pengajar yang masih jauh dari seimbang. Bahkan di Subang, Jawa Barat, kekurangan tenaga pengajar terpaksa masih harus diisi oleh para sukarelawan. (Pikiran Rakyat, 2014).

Apa yang dilakukan oleh Kabinet Kerja dalam mejawab permasalahan tersebut juga sudah realistis. Sepanjang dua tahun pertamanya, pemerintahan Jokowi-JK telah meningkatkan pengiriman jumlah guru ke Sekolah Garis Depan (SGD) di kawasan 3T. Jika pada tahun 2015 tercatat 797 Guru Garis Depan (GGD) dikirim untuk menjadi tenaga pengajar di daerah 3T, tahun 2016 jumlahnya menjadi 7.000 tenaga pengajar, yang tersebar di 114 SGD di 31 propinsi.



Meskipun upaya nyata untuk melakukan perbaikan tersebut telah dilakukan, langkah strategis itu tentu belum mampu sepenuhnya menjawab tantangan kebutuhan guru di semua daerah di Indonesia. Saat ini daerah-daerah pedalaman seperti di Sambas, Kalimantan Barat (Antara, 2016) dan Bomomani, Papua (Kompas, 2015) masih mengalami kekurangan tenaga pengajar, terutama untuk pendidikan dasar. Bahkan di Tasikmalaya, Jawa Barat saja, saat ini masih kekurangan lebih dari 5.000 guru SD (Pikiran Rakyat, 2016).

Kurikulum dan Pendidikan Vokasi
Kurikulum dan Program Pembelajaran adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang produktif. Dalam Dokumen Visi-Misi-nya, Jokowi-JK telah menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki porsi tak kurang dari 70% dari total materi yang diajarkan dari SD hingga SMA. Dan salah satu bentuk pembangunan karakter (character building) yang difokuskan oleh Kabinet Kerja adalah melalui penguatan kebudayaan dalam pendidikan.



Banyak hal yang telah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, mulai dari penyelenggaraan aktivitas kebudayaan di kalangan pelajar yang berskala nasional seperti Kemah Budaya, hingga bantuan infrastruktur pendidikan yang secara khusus mendukung penguatan unsur kebudayaan dalam pendidikan. Bahkan Presiden Jokowi menganjurkan sendiri agar penguatan kebudayaan itu dilakukan seharian penuh selama jam pelajaran sekolah melalui program full day school (VIVA, 2016).

Sasaran strategis lain yang dituju oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah peningkatan jumlah dan kualitas Pendidikan Vokasi atau Kejuruan. Hal ini Menjadi sangat penting terutama di era digital seperti sekarang ini dimana hampir setiap elemen aktivitas keseharian manusia selalu bergantung pada kebutuhan teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK).

Namun kenyataan di lapangan tidaklah ideal, sebab Indonesia masih sangat kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten di bidang TIK. Padahal data Kemendikbud sendiri (okezone, 2016), menunjukan setidaknya ada 4,4 juta siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berpotensi untuk menjadi generasi siap pakai termasuk di bidang TIK. 


Pemerintahan Jokowi-JK telah melakukan langkah signifikan untuk menjawab tantangan tersebut. Hal itu dilakukan melalui upaya ekspansi pendidikan kejuruan sebagai sarana penghubung (link & match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

Pembangunan lebih dari 200 unit sekolah baru, pengembangan hampir 500 SMK di bidang Kemaritiman, Pariwisata, dan Pertanian, lalu bantuan rehabilitasi fasilitas praktik dan laboratorium sekolah, hingga pelibatan komponen tenaga ahli dari luar negeriadalah bentuk realisasi rencana strategis peningkatan kualitas pendidikan vokasi. Seperti yang diungkapkan dalam Laporan Dua Tahun Kabinet Kerja, strategi tersebut diharapkan mampu membantu pendidikan kejuruan dalam menyiapkan daya saing angkatan kerja muda yang jumlahnya melebihi 65 juta.

Tantangan Lainnya.
Seperti yang sudah saya paparkan, sudah cukup nyata pembangunan di bidang pendidikan yang dilakukan selama dua tahun pertama pemerintahan Jokowi-JK. Akan tetapi tentu saja masih banyak permasalahan dan tantangan lain yang masih harus dipikirkan kedepannya, mulai dari masalah akses pendidikan yang masih terbatas di daerah-daerah pedalaman dan perbatasan, ketimpangan kualitas pendidikan di berbagai daerah, hingga tingkat kesejahteraan tenaga pengajar.



Selain itu masih ada juga permasalahan biaya pendidikan yang masih tergolong mahal di beberapa daerah, kualitas guru yang belum memadai, polemik Ujian Nasional dan kecurangan yang masih menyelimutinya, masalah desentralisasi, hingga hambatan sosial budaya. Semua hal tersebut masih perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintahan Jokowi-JK kedepannya.

Tidak boleh diabaikan pula mengenai persoalan kreativitas dan inovasi. Era keterbukaan informasi seperti sekarang ini seharusnya bisa mendukung peningkatan kreativitas para lulusan sekolah. Hal itu menjadi penting agar mentalitas para pelajar jangan sampai hanya diarahkan kepada dunia pekerja semata, tetapi justru lebih kepada upaya penciptaan lapangan kerja itu sendiri. Kreativitas dan inovasi menjadi unsur fundamental yang harus dikembangkan sedini mungkin untuk mencapai tujuan tersebut.

Penutup
Terlepas dari semua hal yang sudah saya paparkan di atas, tentu saja kita semua harus secara objektif mengakui bahwa masih sangat banyak permasalahan dan tantangan dalam dunia pendidikan yang harus dijawab oleh pemerintahan Jokowi-JK kedepannya. Sinisme yang dilontarkan oleh pihak oposisi, kritikus, ataupun elit media, cukup beralasan, dan saya yakin itu semua akan menjadi masukan yang sangat berharga bagi Kabinet Kerja dalam menjalankan tugasnya.



Akan tetapi jangan sampai objektivisme itu menjadi sebelah mata. Jika kita bisa secara terbuka mengakui masih banyak pembenahan yang perlu dilakukan, maka kitapun seharusnya bisa dengan jujur mengakui pembangunan nyata yang telah dicapai oleh Jokowi-JK selama dua tahun pertama masa pemerintahan mereka, khususnya dalam dunia pendidikan ini.

Kita seharusnya bisa secara objektif mengakui dan mengapresiasi perbaikan-perbaikan yang telah coba dilakukan pemerintah kita. Mengakui bahwa "Kerja Nyata" yang dilakukan oleh Kabinet Kerja memang belum sempurna, namun paling tidak dua tahun pertama mereka, telah menunjukan satu langkah nyata bagi bangsa ini dalam menuju Indonesia Cerdas, yang berdaulat, dan berbudaya, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi.

No comments:

Post a Comment